Senin, 08 November 2010

CARA MENGIMANI NABI PALSU

Mari kita menyederhanakan kasus nabi palsu yang nampak begitu rumit, suatu metode penyederhanaan yang menjamin kejelasan dan ketegasan sikap, sama seperti sikap Islam yang simpel, jelas, transparan dan tegas. Kita telisik, untuk diurutkan logika keimanan orang yang mengimani nabi tiruan. Agar pengalaman ini lebih meresap dan mudah difahami, saya memposisikan Anda seolah-olah mau melangkah menjadi pengiman nabi tiruan tersebut.

Pertama, mungkin Anda ambil dulu daftar nama nabi palsu untuk dipilih, terserah mau dari tingkat Internasional maupun Lokal. Di tingkat Internasional, ada nama Muhammad bin Ismail (nama agama: Ismailiyah), Mirza Ghulam Ahmad (nama agama: Ahmadiyah), Mirza Ali Muhammad (nama agama: Babiyah) atau Mirza Husain Ali Nuri (nama agama: Baha'iyah). Jangan lupa, Anda juga bisa beriman kepada dua belas imam (atau salah satunya) dari sebuah agama yang bernama Syiah. Adapun untuk nabi Lokal, Anda boleh pilih Lia Aminuddin (nama agama: Salamullah), atau yang baru-baru ini muncul, namanya Ahmad Moshadeq dengan agama: Al Qiyadah Al Islamiyah. Tak lupa, di tingkat lokal ini Anda juga punya pilihan Nur Hasan Ubaidah Lubis yang mengaku punya hadits layaknya seorang nabi. Nama agamanya: LDII.

Syarat pemilihannya tidak susah dan tidak repot. Anda tinggal menyesuaikan pilihan tersebut dengan hasrat ideologis, biologis termasuk (maaf) seksual Anda. Soalnya, nabi palsu biasanya mengaku bisa menggugurkan peraturan agama dengan cara yang aman tanpa dosa. Sampai-sampai hasrat seksual Anda boleh disalurkan tanpa melalui pernikahan konvensional alias zina. Tentu dia tidak menyebutnya zina, melainkan — misalnya — kawin mut’ah yang bisa dilakukan cukup satu malam saja. Tapi yang lebih enak lagi kalau Anda mengikuti agama seperti Isma'iliyah dan sejenisnya yang melakukan penafsiran esoteris (kebatinan) untuk menghapus aturan-aturan Islam. Anda tak perlu lagi ‘repot-repot’ shalat, zakat, puasa dan menjauhi yang haram-haram.

Setelah itu, langkah kedua adalah Anda harus mengingkari Al Qur’an. Pertama, karena dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Muhammad SAW. adalah nabi terakhir. Pernyataan ini akan berlawanan dengan keyakinan Anda terhadap nabi baru yang telah datang. Kedua, karena tugas nabi adalah menerima wahyu, berarti Anda tidak perlu lagi Al Qur’an sebagai wahyu. Wahyu yang turun pada nabi baru akan menghapus Al Qur’an sehingga Anda cukup berpegang dengan wahyu yang turun pada nabi Anda itu.

Langkah selanjutnya alias yang ketiga, Anda harus mengingkari Nabi Muhammad SAW, karena ajarannya dipastikan bertentangan dengan ajaran nabi Anda itu. Apalagi nabi Anda memang harus berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Kalau ajarannya sama dengan Nabi Muhammad SAW, untuk apa dia menjadi nabi? Selain itu, Nabi Muhammad SAW. sendiri sudah menyatakan “Tidak ada lagi nabi sesudahku” (H.R. Abu Dawud). Artinya, menurut Anda Nabi Muhammad SAW. itu telah berdusta, karena nyatanya nabi baru telah muncul.

Lalu langkah yang keempat, berhubung Anda sudah mengingkari Al Qur’an dan Rasulullah SAW., Anda tinggal mengingkari Islam, yaitu agama yang dibangun diatas dua sumber tadi. Ini aksiomatik. Tak perlu penjelasan rumit. Kalau Anda berhasil menghancurkan fondasi, maka sebuah bangunan sekokoh apapun akan runtuh.

Langkah kelima dan terakhir, Anda harus menganggap semua orang di dunia (termasuk yang mengaku Muslim) mulai dari Maroko, Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia hingga Papua adalah kafir karena tidak mengakui nabi Anda itu. Termasuk yang kafir dalam keyakinan Anda adalah semua anak pesantren, ormas Islam, MUI, Dewan Dakwah, kampus-kampus di Timur Tengah seperti Al-Azhar Mesir dan Jamiah Islamiyah Madinah Munawwarah bersama staf pengajar hingga rektornya, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan seluruh masyarakat muslim dan ulamanya di dunia ini. Termasuk Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, kiai-kiai, DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Utsaimin dan Bin Baz, al-Albani, Wahbah Zuhaili, Said Tanthawi (rektor Al-Azhar) dan lain-lain. Termasuk yang Anda kafirkan adalah penduduk dua tanah suci Makkah dan Madinah bersama imam masjid dan ulamanya.

Masih ada lagi. Anda juga harus menilai semua apa yang ditulis oleh para ulama dalam Islam seperti hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, ilmu tafsir, ilmu kalam, 'ulumul qur’an dalam bentuk buku yang jumlahnya jutaan jilid itu adalah warisan omong kosong dan sia-sia, karena semuanya ditulis berdasarkan keyakinan kebenaran Al Qur’an, hadits dan Rasulullah SAW. Implikasi ini akan terus berlanjut ke hal-hal lain lagi. Tapi, sampai disini saja rasanya saya sudah takut membayangkan. Yang jelas, proses ini berlangsung secara logis akibat mengimani nabi palsu tersebut.

Wajarlah jika dalam kacamata Islam, tindakan nabi palsu adalah kriminalitas yang harus dibasmi. Seperti Abu Bakar ra. yang membasmi nabi palsu Musailamah al-Kadzab di Yamamah; pelakunya dihukum mati dan pendukungnya disuruh taubat. Kalau tidak mau, dia juga dibunuh.

Mengapa? Anda lihat sendiri hebatnya pelecehen terhadap Islam oleh nabi baru dan pengikutnya diatas tadi. Si pengaku nabi dan para pengikutnya plus para pembela, mengakumulasikan berbagai unsur kekufuran zindiq-satanic (Ibnu Qayyim : Ad-Da’wa Dawa’) dalam bentuk yang paling ekstrim.

Ternyata, jauh melampaui debat aqidah dan disiplin ilmu, keimanan terhadap nabi palsu merupakan pemberontakan dan pencabutan Islam dari akar-akarnya sampai habis, tuntas tak tersisa. Persoalan yang prinsipil ini nampaknya tidak disadari banyak orang sehingga diskusi yang berlangsung lebih berkisar pada persoalan perbedaan penafsiran mengenai dalil-dalil tentang nabi terakhir. Orang lupa, sebelum menafsirkan argumen tentang nabi terakhir, logika penerimaan terhadap nabi palsu itu otomatis merupakan logika pengingkaran terhadap Islam itu sendiri. Disinilah nampaknya, Rasulullah tidak repot menjelaskan cara menyikapi nabi palsu. Pesan beliau sangat singkat, “Ketahuilah, tiada lagi nabi sesudahku!”. Karena beliau ingin kita menyikapi pasal kenabian secara aksiomatik bahwa setiap orang yang mengaku nabi sesudahnya, pasti dia itu nabi palsu. Ini bukan semata persoalan sah atau tidaknya nabi palsu, tapi lebih jauh lagi, ini menyangkut legalitas Islam itu sendiri.

Dalam pasal-pasal hukum positif dikenal delik mengenai pencemaran nama baik. Itu sangat logis dan manusiawi. Di dunia ini tidak ada orang yang rela dirinya atau ayahnya, atau ibunya untuk dihina. Orang Indonesia juga marah kalau presidennya dihina. Padahal dalam ajaran Islam, Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. adalah nama-nama yang lebih dimuliakan dari orang tua atau pemimpin negara sekalipun. Kalau orang Indonesia marah presidennya dihina, tentu mereka lebih berhak marah kalau Allah, Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. dilecehkan. Sepantasnya delik semisal pencemaran nama baik ini juga berlaku terhadap pelecehan agama seperti itu.

Dalam Islam ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah kemaslahatan agama (hifzhud-diin). Kemaslahatan ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta benda sekalipun. Makanya, Al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Australia misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi, nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.

Maka dari itu, kalau unsur-unsur agama seperti Allah, Rasulullah, Al-Qur’an, Al-Hadits dan hukum-hukum Islam dilecehkan, dalam pandangan Islam dan umatnya pelecehan ini lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan. Inilah logika yang tidak dipakai (mungkin dengan sengaja) oleh para pengikut dan pembela nabi palsu, contohnya seperti yang tergambar dalam komentar Syafi'i Anwar dari The International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) tentang nabi palsu dalam acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta. Dia memandang, tindakan nabi palsu dan pengikutnya bukanlah kriminalitas. Oleh karena itu dia tidak setuju dalam hal ini pemerintah melakukan campur tangan melalui proses hukum. Tindakan yang sama dilakukan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menjadi induk dari komunitas ICIP tersebut. Ini logika yang aneh. Mengapa mencela presiden (atau simbol negara lainnya) dianggap kejahatan tapi mencela Al-Qur’an tidak jahat? Mengapa menginjak-injak merah-putih adalah kejahatan tapi menginjak lafadz Allah tidak dianggap kriminal? Mengapa memfitnah terhadap Pak Harto atau seorang selebriti seperti Inul bisa diproses melalui jalur hukum, sementara fitnah terhadap Allah dan Rasul-Nya yang berimplikasi luas terhadap kehormatan ratusan juta manusia Indonesia bukan kejahatan dan tidak boleh diproses secara hukum?

Dalam tataran sosial, kasus nabi palsu jelas menyebabkan kejahatan terhadap keyakinan masyarakat. Dalam bahasa langsung atau tak langsung, si nabi gadungan ini memvonis atau mengejek keimanan ratusan juta muslim di Indonesia. Ini adalah serangan terhadap keyakinan masyarakat yang akan memicu keresahan. Apalagi terbukti pula penderitaan warga yang anggota keluarganya mengikuti nabi palsu. Ini semua akan menyebabkan reaksi fisik yang berujung pada kerawanan sosial. Kalau begitu, gerakan nabi palsu telah menjadi faktor instabilitas masyarakat. Ini bukan lagi “kebebasan menyatakan pendapat”, tetapi berubah menjadi “kebebasan mengganggu masyarakat”.
Akhirnya kasus ini akan berakibat kekerasan fisik. Soalnya, masyarakat perlu melakukan pembelaan keyakinan. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan agama memadai, maka pembelaan keyakinan itu tidak bisa dilakukan secara ilmiah. Saat keyakinannya diserang, otomatis fisiklah yang bermain. Ini bukan penindasan terhadap minoritas. Justru minoritas itulah yang memprovokasi masyarakat melalui propaganda, pencarian dukungan dan penyebaran faham sesat mereka. Seandainya mereka membatasi penyebaran ajaran itu, tentu mereka tidak dipermasalahkan.

Maka dari itu, kekerasan masyarakat terhadap aliran sesat selama ini lebih sebagai reaksi alamiah yang tidak mungkin dihindari. Daripada menyalahkan masyarakat yang melakukan kekerasan, sebaiknya kelompok sesat itu dihimbau untuk tahu diri dan menghargai keyakinan orang lain, bukannya malah dibela. Seandainya MUI memfatwakan larangan anarkisme pun, belum tentu akan dituruti. Karena itu, yang bijak adalah dilakukannya langkah hukum yang adil; hukum yang sanggup mencegah wabah aliran sesat pengganggu stabilitas. Hukum yang berpihak kepada hajat orang banyak, bukan hajat segelintir orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar