Selasa, 02 November 2010

ALIRAN RIFA'IYAH

A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini Aliran-aliran keagamaan banyak sekali muncul di masyarakat khususnya Aliran Islam, agaknya ramalan Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam mengenai perpecahan ummatnya yang terbagi menjadi 72 golongan benar-benar terjadi. Antara lain golongan Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Qadariyah, Wahabi, Ahlu sunnah dan lain sebagainya, yang mana Aliran-aliran tersebut tersebar diseluruh penjuru dunia mulai Indonesia sampai dengan negara adidaya yaitu Amerika.
Diantara sekian banyak Aliran-aliran Islam yang masuk ke Indonesia, ada yang dianggap murtad dan ada yang tidak. Kebanyakan masyarakat menganggap Aliran tersebut murtad dan sesat karena keyakinan Aliran tersebut berbeda dengan mayoritas ummat Islam pada umumnya. Seperti halnya alirang Rifa’iyah yang dibawa oleh KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum.
Aliran ini tidak berbeda dengan Aliran terbesar di Indonesia yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dalam segi tradisi karena mereka pun melakukan tradisi yang sering dilakukan oleh orang NU seperti halnya tahlilan, tingkeban, slametan dan talqin mayyit. Tetapi Aliran ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan NU dan ummat islam pada umumnya, antara lain perbedaannya adalah :
1. Aliran Rifa’iyah meyakini bahwa Rukun Islam itu hanya ada 1 (satu) yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.
2. Jumlah bilangan syarat sahnya shalat Jumat adalah 4 orang ditambah dengan 4 orang badal.
3. Pada bulan Ramadan tidak ada tradisi sholat tarawih, akan tetapi diganti dengan sholat qadha mubdarah yaitu qadha sholat fardu yang disegerakan.
4. Pengulangan pernikahan (Tashih al-Nikah) yang masih dilakukan oleh Jamaah Rifa’iyah sampai sekarang.
Lantas apa sebenarnya yang mendasari KH Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum selaku pendiri Aliran Rifa’iyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kayakinan ummat Islam pada umumnya???

B. Substansi Masalah
Adapun substansi dari keyakinan Aliran Rifa’iyah akan diuraikan sebagai berikut:
1. Rukun Islam hanya satu
Satu hal yang menjadi kontroversi dari ajaran Ahmad Rifa’i adalah pendapatnya tentang ”rukun Islam hanya satu” yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Empat rukun Islam yang lainnya dianggap sebagai rukun mukammilat (rukun penyempurna) terhadap rukun Islam yang pertama. Berbeda dengan keyakinan umat Islam pada umumnya yang berpendapat bahwa rukun Islam berjumlah lima yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu. Berikut adalah pendapat Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam satu seperti yang terdapat dalam Kitab Syarihul Iman koras satu:
”Kelakuan Islam iku angucapaken ing kalimah sahadat loro lan
anjumenengaken solat lan aweh zakat lan puoso romadhon lan
munggah kaji ing Baitullah lamun kuwoso ing dedalane. Utawi rukun
Islam kang dadi kasil sah islame ingdalem ndohir mung ngucapaken ing
kalimah sahadat loro ora dadi batal islame wongiku lamon tinggal
saking wajibe solat limang wektu... ..”
Artinya:
”Perbuatan Islam itu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan
salat, menunaikan zakat, puasa dibulan ramadan, naik haji keBaitullah
bagi yang kuasa jalannya. Bahwa rukun Islam yang menjadi berhasil
sahnya islam didalam lahirnya hanya mengucapkan dua kalimah
syahadat. Tidak jadi batal islamnya seseorang yang meninggalkan
kewajiban salat lima waktu... .”
Jadi menurut Ahmad Rifa’I pada dasarnya rukun Islam yang menjadikan seseorang dianggap muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan keempat rukun Islam lainnya merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang setelah masuk Islam. Kesimpulan ini diambil atas dasar pandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat, puasa ramadhan dan kewajiban lainnya tetap dianggap sebagai orang Islam (muslim), meskipun ia adalah orang Islam yang melakukan dosa besar dan fasik (rusak). Jadi menurut Ahmad Rifa’I meninggalkan kewajiban shalat lima waktu tidak menggugurkan keislaman seseorang.
Menurut Khairudin Hasbullah (1990: 13) pendapat Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam hanya satu berbeda dengan keyakinan umat Islam di
Indonesia pada dasarnya hanya perbedaan lafdhi (defenisi), bukan perbedaan
maknawi (makna). Ahmad Rifa’i memakai kata kelakuaan Islam (A’malul
Islam)seperti yang disebutkan diatas untuk menyebut Arkanul Islam (rukun
Islam).
2. Shalat Jum’at.
Dalam masalah shalat baik shalat jamaah maupun shalat jum’at
Ahmad Rifa’i sangat menekankan pentingnya kualitas seorang imam.
Menurutnya imam seorang muslim yang alim adil yaitu mempunyai
pengetahuan agama yang dalam, memahami kaifiyah (ketentuan shalat),
dapat dipercaya, tidak melakukan dosa besar, dan bukan orang yang fasik
(rusak). Hal ini bisa dilihat dalam Kitab Takhyirah Mukhtasar karya
Ahmad Rifa’i:
”Alim weruh ing panggerane syareate nabi muhammad
Adil riwayate ora ngelakoni setengahe doso gede lan ora ngekalaken setengah karom cilek”
Artinya:
”Alim mengetahui aturannya syareatnya nabi Muhammad
Adil yaitu tidak melakukan sebagian dosa besar dan tidak sering melakukan sebagian dari dosa kecil”
Ahmad Rifa’I memandang bahwa shalat jum’at yang dilakukan di Masjid Pekalongan dan Batang pada masa itu ”tidak sah”. Dengan alasan imamnya kurang memenuhi syarat sebagai imam dalam istilah Ahmad Rifa’I bukan orang yang alim adil. Hal ini karena yang menjadi imam shalat jum’at adalah penghulu atau ulama tradisional yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda yang merupakan pemerintah kafir. Mereka dianggap imanya sudah rusak dan tidak pantas untuk diikuti. Seperti yang dikatakan G.F.Pijper (1984: 72) bahwa penghulu termasuk dalam birokrasi pemerintah dan mendapatkan gaji dari pemerintah kolonial Belanda, yang salah satu tugasnya adalah mengurusi masjid dan kegiatan peribadatan.
Disamping mensyaratkan kualitas imam dan khatib yang alim adil, Ahmad Rifa’I juga mensyaratkan bahwa peserta shalat jum’at yang menjadikan sahnya shalat jum’at haruslah orang-orang mengetahui rukun, syarat wajib, syarat sahnya shalat jum’at. Jika ada salah satu orang yang tidak memenuhinya maka shalat jum’at menjadi batal. Dengan kata lain peserta shalat jum’at yang menjadi Ahlul Jum’ah itu harus cukup ilmu dan pengamalan agamanya (Abdullah, 2006: 112).
Menurut Imam Syafi’i bilangan (jumlah) orang yang menjadikan
sahnya shalat jum’at ada yang mengatakan 40 orang (qaul jadid atau
pendapat baru yaitu fatwa-fatwa Imam Syafi’i ketika tinggal di Mesir)., 12
orang dan 4 orang (qaul qodim atau pendapat lama yaitu fatwa Imam
Syafi’I ketika masih di Bagdad). Pendapat tentang jumlah minimal yang
menjadikan shalat jum’at dengan empat orang merupakan pendapat yang
lemah atau dhoif. Berikut ini adalah pendapat Ahmad Rifa’I dalam hal
wilangan (bilangan/jumlah orang) shalat jum’at sebagaimana yang terdapat
dalam Kitab Taisir yang merupakan kitab karyanya yang khusus
membahas bab jum’at.
”Tetelu kaule syafi’i jum’ah wilangane muktamad kaul jadid kalaning mesir negarane Wilangan jum’ah wong patang puluh tinemune Islam aqil baligh lanang mardiko nyatane Kang podo umah-umah nunggal panggonan kang sah jumenengaken jum’ah arup kapartelanan
Kaul roro kodim kolo ning bagdad kinaweruheSalah sewijine sah wong rolas jum’ahane
Kapindo ngesahakensolat jum’ah wong papat podo sah solate gegunah
Ugo netepi syarat ngarep wus winarah tentu kanti sugeh ilmu inadah”
Artinya:
”Tiga pendapat dari syafi’i bilangan jum’ah mu’tamad kaul jadid pada waktu diMesir
Bilangan jum’ah orang empat puluh adanya Islam aqil baligh pria merdeka kenyataannya
Yang sudah punya rumah tempat tinggal yang sah mendirikan jum’ah seperti yang telah diketahui
Kaul dua qodim pada waktu diBagdad salah satunya sah orang dua
belas
Kedua mensahkan lagi salat jum’ah orang empat sama sah benar salatnya
Juga memenuhi syarat yang sudah ditentukan tentu dengan kaya ilmu ibadah”
Menurut Ahmad Rifa’I hadist dhoif (hadist lemah) bisa dijadikan hukum tapi tidak boleh untuk memberikan fatwa. Hal ini bisa dilihat dari pernyataannya dalam Kitab Taisir:
”Pertelo wenang ugo sah tinemuneIngatase wong taqlid kaol dhoif nyatane
Gawe ibadah ingdalem kake seriraneTuwin maslahah kerono wong liyane
Ora wenang taqlid kaol dhoif ginawen nejo ngukumi aweh fatwa
Balik wajib nganggo kaol kang akwa lamon ginawe kukum tuwin fatwa
Wong solat jum’at wong papat anut kaol dhoif kang dikajad”
Artinya:
”Jelas boleh juga sah knyataannya bagi orang yang taqlid kaul dhoif
Untuk ibadah didalam hak sendiri dan maslahah bagi orang lain.
Tidak boleh taqlid kaul dhoif digunakan dengan sengaja sebagi hukum fatwa
Sebaliknya wajib menggunakan kaul yang akwa jika digunakan untuk hukum dan fatwa Orang salat jum’at orang empat ikut kaul dhoif yang dihajat”
Latar belakang dari pandangan ini karena pada masa itu (abad ke-19) banyak orang Islam di Jawa yang dapat dikatakan masih”abangan”, mereka tidak mengetahui syarat rukun dan sahnya shalat jum’at.
Disamping itu pengetahuan agama mereka masih sangat kurang. Dengan
kata lain hal ini karena sulitnya mencari orang yang benar-benar memenuhi
syarat minimal untuk mendirikan salat jum’at dengan 40 orang seperti
yang lazim berlaku. Untuk itu Ahmad Rifa’I memilih pendapat yang
menyebutkan bahwa sudah sah mendirikan shalat jum’at dengan empat
orang yang mengetahui syarat sah, rukun salat jum’at, tidak fasik dan
dalam ilmu agamanya. Selain empat orang harus ada badal atau pengganti
dari keempat orang itu. Sebagai contoh di desa Bulak empat orang yang
menjadi sahnya bilangan shalat jum’at yaitu: H. Hadi, Khumaidi, H.bashir,
H Kamid dan sebagai badalnya adalah Nasihin, Ahmad Rozi, Mukhadhin
dan Abdul Hadi.
Oleh karena tidak adanya inovasi baru disesuikan dengan perkembangan masyarakat dan zaman dalam menafsirkan karya-karya dari Ahmad Rifa’I, maka orang Rifa’iyah dari dulu sampai sekarang tidak mau melakukan sahlat jum’at di masjid di luar komunitasnya. Mereka mendirikan shalat jum’at terpisah dengan masyarakat umum di luar golongannya. Tiap hari jum’at mereka dianjurkan untuk tidak bepergian hingga tidak bisa shalat jum’at di masjid komunitas Rifa’iyah. Jadi mereka mendirikan masjid sendiri. Hal inilah yang menjadikan aliran Rifa’iyah terkesan eklusif, tertutup dan kurang memasyarakat.
Satu ciri khas lagi mengenai shalat jum’at yang dilakukakan oleh komunitas Rifa’iyah adalah sebelum khatib naik kemimbar jama’ah membaca kitab tarjamah yang membahas hal shalat jum’at misalnya Kitab Taisir yang dipimpin oleh salah seorang kiainya, adzan satu kali seperti halnya orang Muhammadiyah, materi khutbah hanya Al-Qur’an dan Hadist tanpa terjemahan (khutbah hanya memakai bahasa Arab tanpa bahasa Indonesia atau Jawa) dan ketika shalat jum’at selesai terlebih dahulu bersalam-salaman terus langsung pergi meninggalkan masjid seketika.
Mengenai tindakan orang Rifa’iyah setelah shalat jum’at langsung pergi semua (tidak lari) tidaklah bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Jumu’ah ayat 10 yang artinya:
”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung”
Mengenai khutbah dengan bahasa Arab sebenarnya secara syariat
tidak bertentangan, akan tetapi jama’ah shalat jum’at akan kesulitan
menerima materi khutbah yang disampaikan karena tidak semua orang
mengerti bahasa Arab. Hal ini tampaknya kontradiktif dengan sikap
Ahmad Rifa’i ketika menyampaikan ajaran Islam melalui kitab tarjamah
yang berhuruf Arab dan berbahasa Jawa atau Melayu agar mudah dipahami
oleh umat.
3. Shalat Qadha di bulan Ramadan.
Shalat salah satu rukun Islam, meskipun dalam pandangan Ahmad Rifa’I shalat adalah salah satu kewajiban seorang muslim setelah masuk Islam (rukun mukammilat atau rukun penyempurna). Dalam Islam shalat menduduki posisi yang sangat penting seperti yang terdapat dalam beberapa hadist diantaranya yang artinya shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya maka dia menegakkan agama dan barang siapa yang meninggalkannya maka meruntuhkan agama. Pada hadist yang lain disebutkan yang artinya amal seorang hamba yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik shalatnya maka baik juga semua amalnya sebaliknya jika rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalnya. Jadi shalat merupakan kewajiban yang harus dikerjakan dalam keadaan apapun baik sehat maupun sakit, dalam fiqh dikenal yang namanya hukum rukhsah (keringanan) bagi mereka yang karena keadaan tidak mampu menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Misalnya shalat dengan cara duduk, berbaring, shalat jamak-qasar dan sebagainya.
Dalam fiqh dikenal adanya istilah shalat Ada’ dan shalat Qadha. Shalat Ada’ adalah shalat fardhu yang dikerjakan pada waktunya, shalat qadha adalah shalat yang dikerjakan tidak pada waktu yang telah ditentukan. Jadi dengan kata lain shalat qadha sebagai shalat pengganti terhadap shalat yang pernah ditinggalkan oleh seorang muslim karena adanya sebab-sebab tertentu.
Shalat qadha bukanlah hal yang baru bagi umat Islam, sejak masa rasulullah salat ini telah dikenal. Yang khas dari orang Rifa’iyah adalah kebiasaan shalat qadha yang mereka sebut qadha mubdarah (qadha yang disegerakan) yang pelaksanaanya pada malam bulan ramadhan secara berjamaah. Jadi pada setiap bulan ramadhan mereka tidak melaksanakan shalat tarawih. Tradisi santri tarjumah atau Rifa’iyah mengamalkan shalat qadha pada setiap bulan ramadhan didasarkan pada doktrin-doktrin Ahmad Rifa’I yaitu bahwa shalat fardhu harus lebih dahulu dikerjakan dari pada shalat sunnah. Orang yang didalam ibadahnya lebih mendahulukan sunnah dan mengakhirkan wajib terhukum haram dan mengikuti kehendak nafsu setan (Abdullah, 2006: 114).
Pemikiran Ahmad Rifa’i mengenai shalat qadha pada setia malam ramadhan taklepas dari kondisi keagamaan orang Jawa pada masa itu yang dapat dikatakan masih abangan. Mereka mengaku beragama Islam tapi tidak taat menjalankan kewajiban Islam yang elementer misalya shalat. Yang jadi permasalahan adalah mengapa ada komunitas Rifa’iyah di daerah tertentu misalnya di Purwosari Patebon sampai saat ini masih melaksanakan tradisi ini tanpa melihat perkembangan zaman dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah jama’ahnya yang sedikit banyak mungkin mengalami perubahan.
4. Pengulangan pernikahan (Tashih al-Nikah).
Pernikahan adalah salah satu sunnah nabi yang sangat dianjurkan
kepada setiap muslim. Tentunya ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi agar suatu pernikahan sah. Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan
bahwa ada lima rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan suatu
pernikahan yaitu: mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali
mempelai perempuan, dua orang saksi yang adil, dan ijab-qabul. Masing-
masing rukun ini mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pernikahan itu sah.
Menurut G.F.Pijper (1984: 74) salah satu tugas penghulu adalah mengurusi masalah pernikahan termasuk menjadi saksi ataupun wali hakim. Dengan demikian menurut Ahmad Rifa’i pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu ”tidak sah” dan harus diulangi lagi, dengan alasan bahwa imannya penghulu sudah rusak sebab menjadi kaki tangan penguasa kafir. Seorang saksi nikah dituntut untuk adil sedang seorang wali nikah menurut Ahmad Rifa’i sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah (2006: 117) harus bersifat mursyid (seorang yang dalam ilmu agamanya, tidak fasik, jujur, tidak pernah melakukan dosa besar).




C. Sikap Kita Terhadap Fenomena Tersebut
Sebagai sesama Muslim yang beriman tidak sepatutnya kita saling menghakimi tanpa mengetahui substansi yang sebenarnya terjadi. Banyak diantara saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan fanatisme Agama yang membabi-buta. Perlu diadakan kajiaan dan telaah yang lebih mendalam mengenai fenomana yang terjadi.
Kita harus meniru tindakan Nabi kita Muhammad Shollollahu ‘Alaihi Wasallam yang menghormati dan menyadari akan adanya perbedaan diantara ummatnya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita semua selaku makhluk yang memiliki akal dan hawa nafsu.
Perbedaan yang ada sekarang ini akan lebih baik jika kita jadikan sebagai khazanah untuk berlomba-lomba dalam menyiarkan Islam, bukan malah dijadikan sebagai teknologi untuk menghancurkan Islam.
Saya menganggap bahwa Aliran-aliran yang berkembang di Indonesia, tidaklah harus langsung di Vonis dengan mengatakan sesat dan murtad, akan tetapi lebih baik kita melihat dulu apa dasar yang mereka pakai, kalau masih memakai Al Qur’an dan Hadits, maka kita tidak selayaknya mengatakan mereka sesat, kafir dan lain sebagainya. Karena itu hanyalah hak Allah semata untuk menentukan siapa yang kafir dan siapa yang mu’min.
Kemudian harus ada sikap yang lebih bijaksana untuk menyikapi permasalahan ini, jangan sampai ada lagi korban-korban kekerasan yang jatuh karena perbedaan faham. Cukup sudah kejadiaan-kejadian tragis di masa lalu, jangan sampai kejadian-kejadian itu terulang kembali.
Permasalahan seperti ini akan lebih bijak bila diserahkan kepada fihak-fihak yang berwenang, karena merekalah yang lebih berkompeten untuk menyelesaikan pemasalahan ini, jangan ada tindakan main hakim sendiri. Dengan main hakim sendiri hanya akan menimbulkan kerugian fisik dan materi.









DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, khairuddin. 1990. Tauhid Dalam Pandangan KH Ahmad Rifa’i dan Perbandingannya: Ilmu Tauhid dan Pokok-pokok Akidah Islamiyah
Dalam kitab-kitab Karangan Syaikh H. A. Rifa’i. Yogyakarta: Seminar
Nasional Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX.
Abdullah, Shodiq. 2006. Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan Tradisi.Semarang: Rasail.
G.F. Pijper. 1984. Beberapa Studi Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI
Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar