Senin, 08 November 2010

CARA MENGIMANI NABI PALSU

Mari kita menyederhanakan kasus nabi palsu yang nampak begitu rumit, suatu metode penyederhanaan yang menjamin kejelasan dan ketegasan sikap, sama seperti sikap Islam yang simpel, jelas, transparan dan tegas. Kita telisik, untuk diurutkan logika keimanan orang yang mengimani nabi tiruan. Agar pengalaman ini lebih meresap dan mudah difahami, saya memposisikan Anda seolah-olah mau melangkah menjadi pengiman nabi tiruan tersebut.

Pertama, mungkin Anda ambil dulu daftar nama nabi palsu untuk dipilih, terserah mau dari tingkat Internasional maupun Lokal. Di tingkat Internasional, ada nama Muhammad bin Ismail (nama agama: Ismailiyah), Mirza Ghulam Ahmad (nama agama: Ahmadiyah), Mirza Ali Muhammad (nama agama: Babiyah) atau Mirza Husain Ali Nuri (nama agama: Baha'iyah). Jangan lupa, Anda juga bisa beriman kepada dua belas imam (atau salah satunya) dari sebuah agama yang bernama Syiah. Adapun untuk nabi Lokal, Anda boleh pilih Lia Aminuddin (nama agama: Salamullah), atau yang baru-baru ini muncul, namanya Ahmad Moshadeq dengan agama: Al Qiyadah Al Islamiyah. Tak lupa, di tingkat lokal ini Anda juga punya pilihan Nur Hasan Ubaidah Lubis yang mengaku punya hadits layaknya seorang nabi. Nama agamanya: LDII.

Syarat pemilihannya tidak susah dan tidak repot. Anda tinggal menyesuaikan pilihan tersebut dengan hasrat ideologis, biologis termasuk (maaf) seksual Anda. Soalnya, nabi palsu biasanya mengaku bisa menggugurkan peraturan agama dengan cara yang aman tanpa dosa. Sampai-sampai hasrat seksual Anda boleh disalurkan tanpa melalui pernikahan konvensional alias zina. Tentu dia tidak menyebutnya zina, melainkan — misalnya — kawin mut’ah yang bisa dilakukan cukup satu malam saja. Tapi yang lebih enak lagi kalau Anda mengikuti agama seperti Isma'iliyah dan sejenisnya yang melakukan penafsiran esoteris (kebatinan) untuk menghapus aturan-aturan Islam. Anda tak perlu lagi ‘repot-repot’ shalat, zakat, puasa dan menjauhi yang haram-haram.

Setelah itu, langkah kedua adalah Anda harus mengingkari Al Qur’an. Pertama, karena dalam Al Qur’an terdapat ayat yang mengatakan bahwa Muhammad SAW. adalah nabi terakhir. Pernyataan ini akan berlawanan dengan keyakinan Anda terhadap nabi baru yang telah datang. Kedua, karena tugas nabi adalah menerima wahyu, berarti Anda tidak perlu lagi Al Qur’an sebagai wahyu. Wahyu yang turun pada nabi baru akan menghapus Al Qur’an sehingga Anda cukup berpegang dengan wahyu yang turun pada nabi Anda itu.

Langkah selanjutnya alias yang ketiga, Anda harus mengingkari Nabi Muhammad SAW, karena ajarannya dipastikan bertentangan dengan ajaran nabi Anda itu. Apalagi nabi Anda memang harus berbeda dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Kalau ajarannya sama dengan Nabi Muhammad SAW, untuk apa dia menjadi nabi? Selain itu, Nabi Muhammad SAW. sendiri sudah menyatakan “Tidak ada lagi nabi sesudahku” (H.R. Abu Dawud). Artinya, menurut Anda Nabi Muhammad SAW. itu telah berdusta, karena nyatanya nabi baru telah muncul.

Lalu langkah yang keempat, berhubung Anda sudah mengingkari Al Qur’an dan Rasulullah SAW., Anda tinggal mengingkari Islam, yaitu agama yang dibangun diatas dua sumber tadi. Ini aksiomatik. Tak perlu penjelasan rumit. Kalau Anda berhasil menghancurkan fondasi, maka sebuah bangunan sekokoh apapun akan runtuh.

Langkah kelima dan terakhir, Anda harus menganggap semua orang di dunia (termasuk yang mengaku Muslim) mulai dari Maroko, Mesir, Saudi Arabia, Pakistan, Malaysia hingga Papua adalah kafir karena tidak mengakui nabi Anda itu. Termasuk yang kafir dalam keyakinan Anda adalah semua anak pesantren, ormas Islam, MUI, Dewan Dakwah, kampus-kampus di Timur Tengah seperti Al-Azhar Mesir dan Jamiah Islamiyah Madinah Munawwarah bersama staf pengajar hingga rektornya, Organisasi Konferensi Islam (OKI) dan seluruh masyarakat muslim dan ulamanya di dunia ini. Termasuk Din Syamsuddin, Hasyim Muzadi, kiai-kiai, DR. Yusuf al-Qaradhawi, Syaikh Utsaimin dan Bin Baz, al-Albani, Wahbah Zuhaili, Said Tanthawi (rektor Al-Azhar) dan lain-lain. Termasuk yang Anda kafirkan adalah penduduk dua tanah suci Makkah dan Madinah bersama imam masjid dan ulamanya.

Masih ada lagi. Anda juga harus menilai semua apa yang ditulis oleh para ulama dalam Islam seperti hadits, fiqih, ushul fiqih, tafsir, ilmu tafsir, ilmu kalam, 'ulumul qur’an dalam bentuk buku yang jumlahnya jutaan jilid itu adalah warisan omong kosong dan sia-sia, karena semuanya ditulis berdasarkan keyakinan kebenaran Al Qur’an, hadits dan Rasulullah SAW. Implikasi ini akan terus berlanjut ke hal-hal lain lagi. Tapi, sampai disini saja rasanya saya sudah takut membayangkan. Yang jelas, proses ini berlangsung secara logis akibat mengimani nabi palsu tersebut.

Wajarlah jika dalam kacamata Islam, tindakan nabi palsu adalah kriminalitas yang harus dibasmi. Seperti Abu Bakar ra. yang membasmi nabi palsu Musailamah al-Kadzab di Yamamah; pelakunya dihukum mati dan pendukungnya disuruh taubat. Kalau tidak mau, dia juga dibunuh.

Mengapa? Anda lihat sendiri hebatnya pelecehen terhadap Islam oleh nabi baru dan pengikutnya diatas tadi. Si pengaku nabi dan para pengikutnya plus para pembela, mengakumulasikan berbagai unsur kekufuran zindiq-satanic (Ibnu Qayyim : Ad-Da’wa Dawa’) dalam bentuk yang paling ekstrim.

Ternyata, jauh melampaui debat aqidah dan disiplin ilmu, keimanan terhadap nabi palsu merupakan pemberontakan dan pencabutan Islam dari akar-akarnya sampai habis, tuntas tak tersisa. Persoalan yang prinsipil ini nampaknya tidak disadari banyak orang sehingga diskusi yang berlangsung lebih berkisar pada persoalan perbedaan penafsiran mengenai dalil-dalil tentang nabi terakhir. Orang lupa, sebelum menafsirkan argumen tentang nabi terakhir, logika penerimaan terhadap nabi palsu itu otomatis merupakan logika pengingkaran terhadap Islam itu sendiri. Disinilah nampaknya, Rasulullah tidak repot menjelaskan cara menyikapi nabi palsu. Pesan beliau sangat singkat, “Ketahuilah, tiada lagi nabi sesudahku!”. Karena beliau ingin kita menyikapi pasal kenabian secara aksiomatik bahwa setiap orang yang mengaku nabi sesudahnya, pasti dia itu nabi palsu. Ini bukan semata persoalan sah atau tidaknya nabi palsu, tapi lebih jauh lagi, ini menyangkut legalitas Islam itu sendiri.

Dalam pasal-pasal hukum positif dikenal delik mengenai pencemaran nama baik. Itu sangat logis dan manusiawi. Di dunia ini tidak ada orang yang rela dirinya atau ayahnya, atau ibunya untuk dihina. Orang Indonesia juga marah kalau presidennya dihina. Padahal dalam ajaran Islam, Allah, Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. adalah nama-nama yang lebih dimuliakan dari orang tua atau pemimpin negara sekalipun. Kalau orang Indonesia marah presidennya dihina, tentu mereka lebih berhak marah kalau Allah, Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW. dilecehkan. Sepantasnya delik semisal pencemaran nama baik ini juga berlaku terhadap pelecehan agama seperti itu.

Dalam Islam ditetapkan, prioritas kemaslahatan yang paling tinggi adalah kemaslahatan agama (hifzhud-diin). Kemaslahatan ini berada diatas kemaslahatan nyawa dan harta benda sekalipun. Makanya, Al-Qur’an mewajibkan jihad dengan harta dan nyawa untuk membela agama. Jikalau Jakarta diserang oleh Australia misalnya, maka umat Islam harus turun berperang meski itu nanti menyebabkan hilangnya nyawa. Jadi, nyawapun kadang harus dikorbankan demi membela kemaslahatan tertinggi, yaitu kemaslahatan agama.

Maka dari itu, kalau unsur-unsur agama seperti Allah, Rasulullah, Al-Qur’an, Al-Hadits dan hukum-hukum Islam dilecehkan, dalam pandangan Islam dan umatnya pelecehan ini lebih besar kejahatannya daripada pembunuhan. Inilah logika yang tidak dipakai (mungkin dengan sengaja) oleh para pengikut dan pembela nabi palsu, contohnya seperti yang tergambar dalam komentar Syafi'i Anwar dari The International Centre for Islam and Pluralism (ICIP) tentang nabi palsu dalam acara dialog di sebuah stasiun televisi swasta. Dia memandang, tindakan nabi palsu dan pengikutnya bukanlah kriminalitas. Oleh karena itu dia tidak setuju dalam hal ini pemerintah melakukan campur tangan melalui proses hukum. Tindakan yang sama dilakukan oleh kelompok Jaringan Islam Liberal (JIL) yang menjadi induk dari komunitas ICIP tersebut. Ini logika yang aneh. Mengapa mencela presiden (atau simbol negara lainnya) dianggap kejahatan tapi mencela Al-Qur’an tidak jahat? Mengapa menginjak-injak merah-putih adalah kejahatan tapi menginjak lafadz Allah tidak dianggap kriminal? Mengapa memfitnah terhadap Pak Harto atau seorang selebriti seperti Inul bisa diproses melalui jalur hukum, sementara fitnah terhadap Allah dan Rasul-Nya yang berimplikasi luas terhadap kehormatan ratusan juta manusia Indonesia bukan kejahatan dan tidak boleh diproses secara hukum?

Dalam tataran sosial, kasus nabi palsu jelas menyebabkan kejahatan terhadap keyakinan masyarakat. Dalam bahasa langsung atau tak langsung, si nabi gadungan ini memvonis atau mengejek keimanan ratusan juta muslim di Indonesia. Ini adalah serangan terhadap keyakinan masyarakat yang akan memicu keresahan. Apalagi terbukti pula penderitaan warga yang anggota keluarganya mengikuti nabi palsu. Ini semua akan menyebabkan reaksi fisik yang berujung pada kerawanan sosial. Kalau begitu, gerakan nabi palsu telah menjadi faktor instabilitas masyarakat. Ini bukan lagi “kebebasan menyatakan pendapat”, tetapi berubah menjadi “kebebasan mengganggu masyarakat”.
Akhirnya kasus ini akan berakibat kekerasan fisik. Soalnya, masyarakat perlu melakukan pembelaan keyakinan. Karena mereka tidak memiliki pengetahuan agama memadai, maka pembelaan keyakinan itu tidak bisa dilakukan secara ilmiah. Saat keyakinannya diserang, otomatis fisiklah yang bermain. Ini bukan penindasan terhadap minoritas. Justru minoritas itulah yang memprovokasi masyarakat melalui propaganda, pencarian dukungan dan penyebaran faham sesat mereka. Seandainya mereka membatasi penyebaran ajaran itu, tentu mereka tidak dipermasalahkan.

Maka dari itu, kekerasan masyarakat terhadap aliran sesat selama ini lebih sebagai reaksi alamiah yang tidak mungkin dihindari. Daripada menyalahkan masyarakat yang melakukan kekerasan, sebaiknya kelompok sesat itu dihimbau untuk tahu diri dan menghargai keyakinan orang lain, bukannya malah dibela. Seandainya MUI memfatwakan larangan anarkisme pun, belum tentu akan dituruti. Karena itu, yang bijak adalah dilakukannya langkah hukum yang adil; hukum yang sanggup mencegah wabah aliran sesat pengganggu stabilitas. Hukum yang berpihak kepada hajat orang banyak, bukan hajat segelintir orang.

Selasa, 02 November 2010

ALIRAN RIFA'IYAH

A. Latar Belakang Masalah
Belakangan ini Aliran-aliran keagamaan banyak sekali muncul di masyarakat khususnya Aliran Islam, agaknya ramalan Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam mengenai perpecahan ummatnya yang terbagi menjadi 72 golongan benar-benar terjadi. Antara lain golongan Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Murjiah, Qadariyah, Wahabi, Ahlu sunnah dan lain sebagainya, yang mana Aliran-aliran tersebut tersebar diseluruh penjuru dunia mulai Indonesia sampai dengan negara adidaya yaitu Amerika.
Diantara sekian banyak Aliran-aliran Islam yang masuk ke Indonesia, ada yang dianggap murtad dan ada yang tidak. Kebanyakan masyarakat menganggap Aliran tersebut murtad dan sesat karena keyakinan Aliran tersebut berbeda dengan mayoritas ummat Islam pada umumnya. Seperti halnya alirang Rifa’iyah yang dibawa oleh KH. Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum.
Aliran ini tidak berbeda dengan Aliran terbesar di Indonesia yaitu NU (Nahdlatul Ulama) dalam segi tradisi karena mereka pun melakukan tradisi yang sering dilakukan oleh orang NU seperti halnya tahlilan, tingkeban, slametan dan talqin mayyit. Tetapi Aliran ini memiliki perbedaan yang mendasar dengan NU dan ummat islam pada umumnya, antara lain perbedaannya adalah :
1. Aliran Rifa’iyah meyakini bahwa Rukun Islam itu hanya ada 1 (satu) yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat.
2. Jumlah bilangan syarat sahnya shalat Jumat adalah 4 orang ditambah dengan 4 orang badal.
3. Pada bulan Ramadan tidak ada tradisi sholat tarawih, akan tetapi diganti dengan sholat qadha mubdarah yaitu qadha sholat fardu yang disegerakan.
4. Pengulangan pernikahan (Tashih al-Nikah) yang masih dilakukan oleh Jamaah Rifa’iyah sampai sekarang.
Lantas apa sebenarnya yang mendasari KH Ahmad Rifa’i bin Muhammad Marhum selaku pendiri Aliran Rifa’iyah memiliki pandangan yang berbeda dengan kayakinan ummat Islam pada umumnya???

B. Substansi Masalah
Adapun substansi dari keyakinan Aliran Rifa’iyah akan diuraikan sebagai berikut:
1. Rukun Islam hanya satu
Satu hal yang menjadi kontroversi dari ajaran Ahmad Rifa’i adalah pendapatnya tentang ”rukun Islam hanya satu” yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat. Empat rukun Islam yang lainnya dianggap sebagai rukun mukammilat (rukun penyempurna) terhadap rukun Islam yang pertama. Berbeda dengan keyakinan umat Islam pada umumnya yang berpendapat bahwa rukun Islam berjumlah lima yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa dan haji bagi yang mampu. Berikut adalah pendapat Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam satu seperti yang terdapat dalam Kitab Syarihul Iman koras satu:
”Kelakuan Islam iku angucapaken ing kalimah sahadat loro lan
anjumenengaken solat lan aweh zakat lan puoso romadhon lan
munggah kaji ing Baitullah lamun kuwoso ing dedalane. Utawi rukun
Islam kang dadi kasil sah islame ingdalem ndohir mung ngucapaken ing
kalimah sahadat loro ora dadi batal islame wongiku lamon tinggal
saking wajibe solat limang wektu... ..”
Artinya:
”Perbuatan Islam itu mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan
salat, menunaikan zakat, puasa dibulan ramadan, naik haji keBaitullah
bagi yang kuasa jalannya. Bahwa rukun Islam yang menjadi berhasil
sahnya islam didalam lahirnya hanya mengucapkan dua kalimah
syahadat. Tidak jadi batal islamnya seseorang yang meninggalkan
kewajiban salat lima waktu... .”
Jadi menurut Ahmad Rifa’I pada dasarnya rukun Islam yang menjadikan seseorang dianggap muslim adalah mengucapkan dua kalimat syahadat dan keempat rukun Islam lainnya merupakan kewajiban yang harus dilakukan seseorang setelah masuk Islam. Kesimpulan ini diambil atas dasar pandangan bahwa orang yang meninggalkan shalat, puasa ramadhan dan kewajiban lainnya tetap dianggap sebagai orang Islam (muslim), meskipun ia adalah orang Islam yang melakukan dosa besar dan fasik (rusak). Jadi menurut Ahmad Rifa’I meninggalkan kewajiban shalat lima waktu tidak menggugurkan keislaman seseorang.
Menurut Khairudin Hasbullah (1990: 13) pendapat Ahmad Rifa’i tentang rukun Islam hanya satu berbeda dengan keyakinan umat Islam di
Indonesia pada dasarnya hanya perbedaan lafdhi (defenisi), bukan perbedaan
maknawi (makna). Ahmad Rifa’i memakai kata kelakuaan Islam (A’malul
Islam)seperti yang disebutkan diatas untuk menyebut Arkanul Islam (rukun
Islam).
2. Shalat Jum’at.
Dalam masalah shalat baik shalat jamaah maupun shalat jum’at
Ahmad Rifa’i sangat menekankan pentingnya kualitas seorang imam.
Menurutnya imam seorang muslim yang alim adil yaitu mempunyai
pengetahuan agama yang dalam, memahami kaifiyah (ketentuan shalat),
dapat dipercaya, tidak melakukan dosa besar, dan bukan orang yang fasik
(rusak). Hal ini bisa dilihat dalam Kitab Takhyirah Mukhtasar karya
Ahmad Rifa’i:
”Alim weruh ing panggerane syareate nabi muhammad
Adil riwayate ora ngelakoni setengahe doso gede lan ora ngekalaken setengah karom cilek”
Artinya:
”Alim mengetahui aturannya syareatnya nabi Muhammad
Adil yaitu tidak melakukan sebagian dosa besar dan tidak sering melakukan sebagian dari dosa kecil”
Ahmad Rifa’I memandang bahwa shalat jum’at yang dilakukan di Masjid Pekalongan dan Batang pada masa itu ”tidak sah”. Dengan alasan imamnya kurang memenuhi syarat sebagai imam dalam istilah Ahmad Rifa’I bukan orang yang alim adil. Hal ini karena yang menjadi imam shalat jum’at adalah penghulu atau ulama tradisional yang bekerjasama dengan pemerintah Belanda yang merupakan pemerintah kafir. Mereka dianggap imanya sudah rusak dan tidak pantas untuk diikuti. Seperti yang dikatakan G.F.Pijper (1984: 72) bahwa penghulu termasuk dalam birokrasi pemerintah dan mendapatkan gaji dari pemerintah kolonial Belanda, yang salah satu tugasnya adalah mengurusi masjid dan kegiatan peribadatan.
Disamping mensyaratkan kualitas imam dan khatib yang alim adil, Ahmad Rifa’I juga mensyaratkan bahwa peserta shalat jum’at yang menjadikan sahnya shalat jum’at haruslah orang-orang mengetahui rukun, syarat wajib, syarat sahnya shalat jum’at. Jika ada salah satu orang yang tidak memenuhinya maka shalat jum’at menjadi batal. Dengan kata lain peserta shalat jum’at yang menjadi Ahlul Jum’ah itu harus cukup ilmu dan pengamalan agamanya (Abdullah, 2006: 112).
Menurut Imam Syafi’i bilangan (jumlah) orang yang menjadikan
sahnya shalat jum’at ada yang mengatakan 40 orang (qaul jadid atau
pendapat baru yaitu fatwa-fatwa Imam Syafi’i ketika tinggal di Mesir)., 12
orang dan 4 orang (qaul qodim atau pendapat lama yaitu fatwa Imam
Syafi’I ketika masih di Bagdad). Pendapat tentang jumlah minimal yang
menjadikan shalat jum’at dengan empat orang merupakan pendapat yang
lemah atau dhoif. Berikut ini adalah pendapat Ahmad Rifa’I dalam hal
wilangan (bilangan/jumlah orang) shalat jum’at sebagaimana yang terdapat
dalam Kitab Taisir yang merupakan kitab karyanya yang khusus
membahas bab jum’at.
”Tetelu kaule syafi’i jum’ah wilangane muktamad kaul jadid kalaning mesir negarane Wilangan jum’ah wong patang puluh tinemune Islam aqil baligh lanang mardiko nyatane Kang podo umah-umah nunggal panggonan kang sah jumenengaken jum’ah arup kapartelanan
Kaul roro kodim kolo ning bagdad kinaweruheSalah sewijine sah wong rolas jum’ahane
Kapindo ngesahakensolat jum’ah wong papat podo sah solate gegunah
Ugo netepi syarat ngarep wus winarah tentu kanti sugeh ilmu inadah”
Artinya:
”Tiga pendapat dari syafi’i bilangan jum’ah mu’tamad kaul jadid pada waktu diMesir
Bilangan jum’ah orang empat puluh adanya Islam aqil baligh pria merdeka kenyataannya
Yang sudah punya rumah tempat tinggal yang sah mendirikan jum’ah seperti yang telah diketahui
Kaul dua qodim pada waktu diBagdad salah satunya sah orang dua
belas
Kedua mensahkan lagi salat jum’ah orang empat sama sah benar salatnya
Juga memenuhi syarat yang sudah ditentukan tentu dengan kaya ilmu ibadah”
Menurut Ahmad Rifa’I hadist dhoif (hadist lemah) bisa dijadikan hukum tapi tidak boleh untuk memberikan fatwa. Hal ini bisa dilihat dari pernyataannya dalam Kitab Taisir:
”Pertelo wenang ugo sah tinemuneIngatase wong taqlid kaol dhoif nyatane
Gawe ibadah ingdalem kake seriraneTuwin maslahah kerono wong liyane
Ora wenang taqlid kaol dhoif ginawen nejo ngukumi aweh fatwa
Balik wajib nganggo kaol kang akwa lamon ginawe kukum tuwin fatwa
Wong solat jum’at wong papat anut kaol dhoif kang dikajad”
Artinya:
”Jelas boleh juga sah knyataannya bagi orang yang taqlid kaul dhoif
Untuk ibadah didalam hak sendiri dan maslahah bagi orang lain.
Tidak boleh taqlid kaul dhoif digunakan dengan sengaja sebagi hukum fatwa
Sebaliknya wajib menggunakan kaul yang akwa jika digunakan untuk hukum dan fatwa Orang salat jum’at orang empat ikut kaul dhoif yang dihajat”
Latar belakang dari pandangan ini karena pada masa itu (abad ke-19) banyak orang Islam di Jawa yang dapat dikatakan masih”abangan”, mereka tidak mengetahui syarat rukun dan sahnya shalat jum’at.
Disamping itu pengetahuan agama mereka masih sangat kurang. Dengan
kata lain hal ini karena sulitnya mencari orang yang benar-benar memenuhi
syarat minimal untuk mendirikan salat jum’at dengan 40 orang seperti
yang lazim berlaku. Untuk itu Ahmad Rifa’I memilih pendapat yang
menyebutkan bahwa sudah sah mendirikan shalat jum’at dengan empat
orang yang mengetahui syarat sah, rukun salat jum’at, tidak fasik dan
dalam ilmu agamanya. Selain empat orang harus ada badal atau pengganti
dari keempat orang itu. Sebagai contoh di desa Bulak empat orang yang
menjadi sahnya bilangan shalat jum’at yaitu: H. Hadi, Khumaidi, H.bashir,
H Kamid dan sebagai badalnya adalah Nasihin, Ahmad Rozi, Mukhadhin
dan Abdul Hadi.
Oleh karena tidak adanya inovasi baru disesuikan dengan perkembangan masyarakat dan zaman dalam menafsirkan karya-karya dari Ahmad Rifa’I, maka orang Rifa’iyah dari dulu sampai sekarang tidak mau melakukan sahlat jum’at di masjid di luar komunitasnya. Mereka mendirikan shalat jum’at terpisah dengan masyarakat umum di luar golongannya. Tiap hari jum’at mereka dianjurkan untuk tidak bepergian hingga tidak bisa shalat jum’at di masjid komunitas Rifa’iyah. Jadi mereka mendirikan masjid sendiri. Hal inilah yang menjadikan aliran Rifa’iyah terkesan eklusif, tertutup dan kurang memasyarakat.
Satu ciri khas lagi mengenai shalat jum’at yang dilakukakan oleh komunitas Rifa’iyah adalah sebelum khatib naik kemimbar jama’ah membaca kitab tarjamah yang membahas hal shalat jum’at misalnya Kitab Taisir yang dipimpin oleh salah seorang kiainya, adzan satu kali seperti halnya orang Muhammadiyah, materi khutbah hanya Al-Qur’an dan Hadist tanpa terjemahan (khutbah hanya memakai bahasa Arab tanpa bahasa Indonesia atau Jawa) dan ketika shalat jum’at selesai terlebih dahulu bersalam-salaman terus langsung pergi meninggalkan masjid seketika.
Mengenai tindakan orang Rifa’iyah setelah shalat jum’at langsung pergi semua (tidak lari) tidaklah bertentangan dengan Al-Qur’an. Sebagaimana yang disebutkan dalam Surat Jumu’ah ayat 10 yang artinya:
”Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyakbanyak supaya kamu beruntung”
Mengenai khutbah dengan bahasa Arab sebenarnya secara syariat
tidak bertentangan, akan tetapi jama’ah shalat jum’at akan kesulitan
menerima materi khutbah yang disampaikan karena tidak semua orang
mengerti bahasa Arab. Hal ini tampaknya kontradiktif dengan sikap
Ahmad Rifa’i ketika menyampaikan ajaran Islam melalui kitab tarjamah
yang berhuruf Arab dan berbahasa Jawa atau Melayu agar mudah dipahami
oleh umat.
3. Shalat Qadha di bulan Ramadan.
Shalat salah satu rukun Islam, meskipun dalam pandangan Ahmad Rifa’I shalat adalah salah satu kewajiban seorang muslim setelah masuk Islam (rukun mukammilat atau rukun penyempurna). Dalam Islam shalat menduduki posisi yang sangat penting seperti yang terdapat dalam beberapa hadist diantaranya yang artinya shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mendirikannya maka dia menegakkan agama dan barang siapa yang meninggalkannya maka meruntuhkan agama. Pada hadist yang lain disebutkan yang artinya amal seorang hamba yang pertama kali dihisab adalah shalat, jika baik shalatnya maka baik juga semua amalnya sebaliknya jika rusak shalatnya maka rusaklah seluruh amalnya. Jadi shalat merupakan kewajiban yang harus dikerjakan dalam keadaan apapun baik sehat maupun sakit, dalam fiqh dikenal yang namanya hukum rukhsah (keringanan) bagi mereka yang karena keadaan tidak mampu menjalankan kewajiban sebagaimana mestinya. Misalnya shalat dengan cara duduk, berbaring, shalat jamak-qasar dan sebagainya.
Dalam fiqh dikenal adanya istilah shalat Ada’ dan shalat Qadha. Shalat Ada’ adalah shalat fardhu yang dikerjakan pada waktunya, shalat qadha adalah shalat yang dikerjakan tidak pada waktu yang telah ditentukan. Jadi dengan kata lain shalat qadha sebagai shalat pengganti terhadap shalat yang pernah ditinggalkan oleh seorang muslim karena adanya sebab-sebab tertentu.
Shalat qadha bukanlah hal yang baru bagi umat Islam, sejak masa rasulullah salat ini telah dikenal. Yang khas dari orang Rifa’iyah adalah kebiasaan shalat qadha yang mereka sebut qadha mubdarah (qadha yang disegerakan) yang pelaksanaanya pada malam bulan ramadhan secara berjamaah. Jadi pada setiap bulan ramadhan mereka tidak melaksanakan shalat tarawih. Tradisi santri tarjumah atau Rifa’iyah mengamalkan shalat qadha pada setiap bulan ramadhan didasarkan pada doktrin-doktrin Ahmad Rifa’I yaitu bahwa shalat fardhu harus lebih dahulu dikerjakan dari pada shalat sunnah. Orang yang didalam ibadahnya lebih mendahulukan sunnah dan mengakhirkan wajib terhukum haram dan mengikuti kehendak nafsu setan (Abdullah, 2006: 114).
Pemikiran Ahmad Rifa’i mengenai shalat qadha pada setia malam ramadhan taklepas dari kondisi keagamaan orang Jawa pada masa itu yang dapat dikatakan masih abangan. Mereka mengaku beragama Islam tapi tidak taat menjalankan kewajiban Islam yang elementer misalya shalat. Yang jadi permasalahan adalah mengapa ada komunitas Rifa’iyah di daerah tertentu misalnya di Purwosari Patebon sampai saat ini masih melaksanakan tradisi ini tanpa melihat perkembangan zaman dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah jama’ahnya yang sedikit banyak mungkin mengalami perubahan.
4. Pengulangan pernikahan (Tashih al-Nikah).
Pernikahan adalah salah satu sunnah nabi yang sangat dianjurkan
kepada setiap muslim. Tentunya ada beberapa syarat dan rukun yang harus
dipenuhi agar suatu pernikahan sah. Dalam kitab-kitab fiqh disebutkan
bahwa ada lima rukun yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan suatu
pernikahan yaitu: mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali
mempelai perempuan, dua orang saksi yang adil, dan ijab-qabul. Masing-
masing rukun ini mempunyai syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pernikahan itu sah.
Menurut G.F.Pijper (1984: 74) salah satu tugas penghulu adalah mengurusi masalah pernikahan termasuk menjadi saksi ataupun wali hakim. Dengan demikian menurut Ahmad Rifa’i pernikahan yang diselenggarakan oleh penghulu ”tidak sah” dan harus diulangi lagi, dengan alasan bahwa imannya penghulu sudah rusak sebab menjadi kaki tangan penguasa kafir. Seorang saksi nikah dituntut untuk adil sedang seorang wali nikah menurut Ahmad Rifa’i sebagaimana yang dikutip oleh Abdullah (2006: 117) harus bersifat mursyid (seorang yang dalam ilmu agamanya, tidak fasik, jujur, tidak pernah melakukan dosa besar).




C. Sikap Kita Terhadap Fenomena Tersebut
Sebagai sesama Muslim yang beriman tidak sepatutnya kita saling menghakimi tanpa mengetahui substansi yang sebenarnya terjadi. Banyak diantara saudara-saudara kita yang menjadi korban keganasan fanatisme Agama yang membabi-buta. Perlu diadakan kajiaan dan telaah yang lebih mendalam mengenai fenomana yang terjadi.
Kita harus meniru tindakan Nabi kita Muhammad Shollollahu ‘Alaihi Wasallam yang menghormati dan menyadari akan adanya perbedaan diantara ummatnya, karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang dikaruniakan Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada kita semua selaku makhluk yang memiliki akal dan hawa nafsu.
Perbedaan yang ada sekarang ini akan lebih baik jika kita jadikan sebagai khazanah untuk berlomba-lomba dalam menyiarkan Islam, bukan malah dijadikan sebagai teknologi untuk menghancurkan Islam.
Saya menganggap bahwa Aliran-aliran yang berkembang di Indonesia, tidaklah harus langsung di Vonis dengan mengatakan sesat dan murtad, akan tetapi lebih baik kita melihat dulu apa dasar yang mereka pakai, kalau masih memakai Al Qur’an dan Hadits, maka kita tidak selayaknya mengatakan mereka sesat, kafir dan lain sebagainya. Karena itu hanyalah hak Allah semata untuk menentukan siapa yang kafir dan siapa yang mu’min.
Kemudian harus ada sikap yang lebih bijaksana untuk menyikapi permasalahan ini, jangan sampai ada lagi korban-korban kekerasan yang jatuh karena perbedaan faham. Cukup sudah kejadiaan-kejadian tragis di masa lalu, jangan sampai kejadian-kejadian itu terulang kembali.
Permasalahan seperti ini akan lebih bijak bila diserahkan kepada fihak-fihak yang berwenang, karena merekalah yang lebih berkompeten untuk menyelesaikan pemasalahan ini, jangan ada tindakan main hakim sendiri. Dengan main hakim sendiri hanya akan menimbulkan kerugian fisik dan materi.









DAFTAR PUSTAKA

Hasbullah, khairuddin. 1990. Tauhid Dalam Pandangan KH Ahmad Rifa’i dan Perbandingannya: Ilmu Tauhid dan Pokok-pokok Akidah Islamiyah
Dalam kitab-kitab Karangan Syaikh H. A. Rifa’i. Yogyakarta: Seminar
Nasional Mengungkap Pembaharuan Islam Abad XIX.
Abdullah, Shodiq. 2006. Islam Tarjumah: Komunitas, Doktrin dan Tradisi.Semarang: Rasail.
G.F. Pijper. 1984. Beberapa Studi Islam di Indonesia 1900-1950. Jakarta: UI
Press.